Oleh: Pidar Haerul Diaz, Mahasiswa Pemikiran Politik Islam UIN Mataram
Opini – Dalam ilmu kebijakan publik, keadilan bersama merupakan kriteria utama dalam setiap penjabaran konkret dari kebijakan politik. Sehingga dampak yang diharapkan adalah bagaiamana masyarakat umum merasakan manfaatnya secara nyata dan merata.
Para pemangku jabatan publik mesti secara cermat mempertimbangkan, meneliti dan mengoreksi setiap output politik yang bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak agar apa yang menjadi tujuan bersama bisa di upayakan dengan extra.
Tanpa spirit keadilan, pranata politik memberangus tujuan keberadaannya sendiri dan berubah karakter menjadi “monolitik” di mana politik dipakai sebagai kendaraan untuk memprioritaskan kepentingan para elite politik, namun tidak menyentuh realitas konkret kehidupan masyarakat.
Menurut Piet Go, untuk mewujudkan kesejahteraan bersama diperlukan mentalitas yang sesuai, yakni keprihatinan efektif untuk kesejahteraan bersama, semangat gotong royong, prinsip solidaritas yang membuat manusia, terutama para pemimpin yang menentukan, tahu, mau, mampu dan sanggup mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan diri sendiri atau golongan.
Dalam Konteks Demokrasi, paradigma kepemimpinan partisipatif seperti ini merupakan elemen penting mengingat vitalnya posisi para pemimpin sebagai penggerak roda demokrasi. Para pemimpin sebuah komunitas politik yang demokratis adalah representasi dari seluruh masyarakat, yang berkompeten untuk mengatur prospek kehidupan masyarakat secara komunal.
Berdasarkan alur pemikiran tersebut, fokus setiap kebijakan politik adalah kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota sebuah komunitas politik (bonum commune). Kebaikan bersama sekaligus menjadi landasan argumentatif dan tujuan pembentukan sebuah komunitas politik. Sebuah komunitas politik ada untuk mengabdi pada kepentingan para anggota yang bergabung di dalamnya. Demikian pula, para pemimpin politik dipilih dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama bagi masyarakat seluruhnya.
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama, dibutuhkan kepekaan yang simpatik dari para pemimpin, untuk bagaimana selanjutnya itu yang menjadi landasan utama semua program ataupun kebijakan yang diturunkan.
Menurut Dadang Juliantara, dalam perjalanan sejarah ditemukan bahwa politik rakyat mempunyai watak dan muatan berbeda dengan politik elite. Politik rakyat adalah politik yang berorientasi dan dipandu oleh masalah-masalah konkret keseharian mereka. Politik rakyat mungkin tidak sitematis, tetapi berkat pergulatan intens dengan realitas hidup harian, akhirnya mereka mengartikulasikan “kemendesakan” situasi dan prioritas apa yang mesti dikedepankan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, dibutuhkan “Observer” yang memang expert di bidangnya, Sehingga akurasi kebijakan maupun program lebih terarah dan terukur, bukan hanya sekedar ada program.
Sebagai penutup, rakyat kebanyakan tidak pandai berspekulasi, tarik menarik kepentingan atau lobi-lobi khusus, tetapi mereka secara jujur mengekspresikan apa yang seharusnya dilakukan.
Dalam kesehariannya, masyarakat pinggiran secara umum lebih memperhatihan kebutuhan sehari-harinya dibandingkan dengan masalah-masalah lain. Itu menunjukan partisipasi yang dibentuk dikemudian hari adalah bentuk proyeksi dengan lingkup pribadi mereka, diluar itu hanya sebatas keikutsertaan secara luang waktu.